Homo soloensis faggot in the tens of thousands of years later evolved into the human he is now
dekat suatu desa Ngandong yang juga terletak di lembah Bengawan Solo dan yang oleh para ahli antropologi-fisik disebut Homo Soloensis.2
Gambar Homo soloensis
Persebaran manusia dengan ciri-ciri Austro-Melanesoid. Nenek moyang dari manusia Wajak tersebut di atas, sebelumnya sudah ada yang sejak lama menyebar ke arah timur dan ada yang menyebar ke arah barat. Mereka yang menyebar ke arah timur menduduki Irian, sebelum Kala Es ke-IV berakhir dan sebelum kenaikan permukaan laut yang terjadi waktu itu, memisahkan Irian dari bagian barat dari Indonesia dan dari benua Australia. Di Irian, manusia Wajak itu hidup dalam kelompokkelompok kecil di daerah muara-muara sungai di mana mereka hidup dari usaha menangkap ikan di sungai, dari meramu tumbuh-tumbuhan dan akar-akaran dan dari berburu di hutan belukar. Tempat tinggal mereka berupa perkampungan-perkampungan yang terdiri dari sederet rumahrumah kecil yang dibuat dari bahan-bahan yang ringan. Rumah-rumah itu sebenarnya hanya merupakan kemah atau tadah-angin saja, yang sering didirikan menempel pada dinding dari suatu karang yang menyengkuap, atau pada dinding dari suatu gua yang besar. Kemah-kemah dan tadahangin-tadah-angin di bawah karang atau gua tadi adalah tempat untuk tidur dan berlindung saja, sedangkan tempat di mana mereka masak dan makan, di mana mereka duduk untuk mengobzol dengan keluarga mereka,
2) Ahli-ahli yang pertama-tama menemukan dan menganalisa fosil-fosil Homo Soloensis itu menganggapnya suatu mahluk yang lain sama sekali daripada Pithecanthrcpus Erectus Mereka menunjukkan adanya banyak persamaan dengan fosii-fosil mahluk Homo Neanderrei, suatu jenis manusia purba yang menduduki benua Eropah dalam Kala Glacial. Adapun pendirian bahwa Homo Soloensis itu menunjukkan lebih banyak ciri-ciri persamaan dengan Pithecanthropus Erecrus, dulu diajukan oleh Weidenreich dan sekarang diajukan lagi oleh ahli antropologi-fisik Indonesia, Teuku Jacob dalam disertasi nya Some Problems Pertaining to the Racial History of the Indonesian Region (1967), setelah menganalisa secara mendalam sebelas buah fosil Homo Soloensis Teuku Jacob malahan condong untuk menyebut Homo Soloensis itu, Pirhecanthropus Soloensis